Sabtu, 01 Maret 2008

ISLAM YANG TERLALU MODERN

ISLAM tak disebarkan lewat kekerasan. Sistem itulah yang oleh Robert N Bellah disebut sebagai sangat modern, mungkin terlalu modern untuk zamannya sehingga tidak bertahan cukup lama, namun tetap menjadi model masyarakat nasional yang adil, terbuka, egaliter, dan partisipatoris.
Menurut Bellah, masyarakat serupa itu belum pernah terbayangkan keteladanan bagi umat manusia saat ini dan sepanjang masa. Karena itu, suasana kejiwaan umat Islam adalah suasana perasaan terus-menerus disalahpahami, dipojokkan, dan direndahkan.
Tidak ada kesalahpahaman yang lebih menyakitkan hati umat Islam dari pandangan keliru seolah-olah mereka adalah penganut agama yang mengajarkan penyembahan kepada seorang manusia bernama Muhammad.
Selama lebih dari 14 abad mereka menambahkan umat Islam sebagai "Muhammadans" dan agamanya "Muhammadanisme". Kesadaraan akan kekeliruan yang fatal itu baru muncul sangat akhir ini saja, dan mulailah mereka belajar menyebut agama itu sebagai Islam, para pelakunya sebagai kaum muslim, sedangkan Muhammad hanyalah seorang nabi utusan Tuhan yang manusia biasa.
Umat Islam juga merasa dizalimi dengan tuduhan, mereka menyebarkan agama mereka dengan paksa. Padahal Islamlah yang dengan tegas, dalam kitab sucinya dan sunnah nabinya mengajarkan untuk tidak boleh ada paksaan dalam agama. Islamlah yang mula-mula dari semua agama yang mengajarkan tentang kewajiban mengakui dan melindungi agama-agama lain, suatu ajaran yang menurut Hanna Cassis merupakan perkembangan luar biasa dalam agama-agama manusia.
Adalah sejarawan Gibbon yang dengan lantang menuduh para pengikut Nabi Muhammad itu menyebarkan agama dengan paksa: pedang di tangan kanan, dan Quran di tangan kiri. Namun tidak kurang dari seorang orientalis Bernard Louis yang membantah Gibbon, bahwa tuduhan itu tidak benar, berlawanan dengan ajaran Islam, dan tidak terjadi dalam sejarah.
Dengan nada meledek, Bernard Louis mengatakan, gambaran Gibbon itu tidak mungkin terjadi pada kaum muslim: seorang muslim tidak akan membawa Alquran dengan tangan kiri, karena dianggap penghinaan.
Kata Louis, bila umat Islam berperang dengan Alquran di tangan kanan dan pedang di tangan kiri, itu berarti semua orang Islam kedhe (kidal). Jadi tidak mungkin Islam disebarkan dengan kekerasan dan paksaan. Hanya orang yang keras kepala dan mau benar sendiri saja yang selalu berusaha mengingkari adanya ajaran dan sejarah Islam yang sebenarnya itu.
Sebaliknya, seperti dikemukakan Thomas W Lippman, Islam menyebar luas karena keteladanan budi pekerti luhur para pemeluknya (Understanding Islam). Sejajar dengan ini, Firthjof Schuon menegaskan, "Every religion has a form and a substance. Islam spread through the world like lightening by virtue of it's substance, and it's expension was brought to halt by reason of it's from (dalam Islam and Perennial Philosophy).
Kekuatan Ajaran
Setiap keyakinan memiliki energi atau menjadi sumber energi. Islam tidak merupakan perkecualian. Ajaran "islam" adalah ajaran berserah diri kepada Tuhan sesuai dengan hakikat kesucian primordial manusia yang dengan sikap itu manusia memperoleh kedamaian (salam).
Mungkin karena kekuatan ajaran itu, Islam menjadi sumber tenaga berbagai gerakan pembebasan (futuhat) yang dahsyat, paling dahsyat dalam sejarah peradaban dunia.
Seperti dikatakan Huston Smith, "Submission (in Arabic, Islam) was the very name of the religion that surfaced through the Koran, yet it's entry into history occasioned the greatest political explosion the world has known... If mention of this fact automatically tringgers our fears of fanaticism, this simply shows us another defence our agnostic reflex has erected against the possibility of there being something that, better than we are in every respect, could infuse us with goodness as well as power were we open to the transfusion (dalam Beyond the Post-Modern Mind).
Dan menurut Hodgson, energi Islam tetap tersimpan dalam cadangan rasa tugasnya. Yet Islam as an explicity religious tradition continues vital almost everywhere. It is on this level that the heritage remains potent. Many aspects of the wider culture of which it was the nucleus cannot be disengaged from religion; they remain resources potentially accessible to all muslims, embedded in the languages of the great religious texts which serious muslims must read, and likely to become influential under the right circumstances. But it is in religious life inself, with all this can mean for human life generally, that Islam is a great force for the immediate future (dalam The Venture of Islam).
Karena pengertian yang keliru tentang hakikat sejarah pembebasan oleh Islam di masa lalu itu, agaknya timbul pula kekeliruan dalam memandang Islam sebagai agama yang keras, militan, dan menakutkan.
Namun perhatikan, perkataan Smith, "Jika semata-mata menyebutkan kenyataan (bahwa Islam melahirkan ledakan gerakan pembebasan) itu otomatis memicu ketakutan kita kepada fanatisme, hal ini semata-mata menunjukkan kepada kita suatu bentuk lain sikap mempertahankan diri yang oleh refleksi agnostik kita telah dibangun menghadapi kemungkinan adanya sesuatu yang karena lebih baik daripada diri sendiri dalam banyak segi, dapat mengisi dengan kebaikan dan kekuatan, kalau saja kita terbuka terhadap transfusi itu.
Sikap-sikap pembelaan diri karena takut kepada suatu hal yang lebih baik seperti digambarkan Smith inilah yang oleh sebagian orang Islam, mungkin melalui ekspresi kebahasan yang tidak selalu tepat disebut sebagai fobia Islam."
Karena sikap penuh fobia itu mewujudkan nyata dalam sikap curiga dan permusuhan, sehingga pada gilirannya memancing sikap perlawanan yang keras dan orang pun tergoda untuk meng-gebyah uyah sebagai terorisme. Terorisme adalah terorisme, suatu kejahatan kemanusiaan, siapa pun yang melakukannya. Namun perjuangan mempertahankan hak dan kehormatan adalah perjuangan, suatu kepahlawanan kemanusiaan, siapa pun yang melakukannya. Karena itu, tidak ada jalan dan cara sama sekali untuk membenarkan terorisme.
Akan tetapi semua pihak juga hendaknya memahami suatu bentuk pengorbanan yang sah, demi menegakkan keadilan, mempertahankan hak dan kehormatan. Pencampuradukan keduanya itu akan menjadi sumber bencana yang amat dahsyat dan berkepanjangan. Dan, sama seperti Dawud yang mengalahkan Jalut, Vietnam yang memaksa pulang Amerika Serikat, arek-arek Surabaya yang membuat tentara Sekutu akhirnya hengkang meninggalkan medan pertempuran, kemenangan atau keunggulan tidak berada di pihak yang kuat dan besar tetapi berada di pihak yang benar sekalipun lemah, tertindas, dan terzalimi.
Tidak adanya pengertian yang tepat tentang masalah itu semua akan menimbulkan keadaan yang semakin buruk, baik pada tingkat dunia maupun pada tingkat negara. Dan sepanjang mengenai Islam, tidak adanya pengertian yang tepat itu akan sangat memperburuk keadaan negara kita, mengingat sedemikian besar jumlah pemeluk Islam di sini, dan tingginya proporsi mereka terhadap keseluruhan penduduk.
Dan, bencana Kuta (Bali) serta kemanusiaan lain sungguh akan amat memperburuk keadaan negara, jika suatu teori konspirasi politik domestik terbukti benar. Teori konspirasi itu mengungkapkan, dan mulai terdengar meluas, bahwa bencana Kuta itu adalah rancangan pihak-pihak tertentu dari kalangan aspiran kekuasaan untuk menciptakan suasana kekacauan umum untuk sebagai alasan pembenaran tindakan mereka.
Benarkah teori itu? Na'udzu bi-Llah, God forbid, semoga Tuhan mencegah. Sebab bila benar, maka bencana Bali itu indikasi bahwa sesungguhnya krisis yang melanda bangsa dan negara kita adalah jauh, amat jauh, lebih buruk daripada yang kita sadari, daripada yang tampak sehari-hari.
Naluri kemanusiaan kita mengharapkan, janganlah hal itu terjadi. Semogalah semua itu tidak benar. Namun naluri kemanusiaan, dan naluri kebangsaan, mendorong untuk bertanya-tanya tentang nasib masa depan bangsa ini, dan apa yang kiranya dapat diperbuat. Beberapa isyarat sebenarnya telah terlemparkan kepada masyarakat umum, dan sudah pula menjadi wacana kalangan tertentu bangsa kita.
Yaitu kita harus mengakhiri tingkah laku tiap-tiap pribadi dari semua, sebagai warga negara yang akhir-akhir ini menunjukkan gejala non-comminal, sikap tidak terikat kepada kepentingan dan cita-cita bersama sebagai bangsa. Gejala sikap hidup tanpa cita-cita luhur, bahkan tanpa cita-cita sama sekali kecuali ambisi egoistis dan nafsu untung sendiri dengan menyalahgunakan kesempatan, kecakapan, kedudukan, dan kekuasaan hanya untuk menumpuk kekayaan.
Pembenaran
Manusia adalah makhluk yang memerlukan pembenaran bagi setiap tindakannya. Karena itu, masing-masing secara naluri selalu mencari pembenaran bagi tindakannya, kendati sesungguhnya lewat naluri kesucian, kita mengetahui bahwa tindakan itu tidak benar dan tidak dapat dibenarkan.
Namun, seperti dalam ungkapan Inggris, habit is second nature, kebiasaan terus-menerus mencari dalih pembenaran bagi tindakan kejahatan akan menjadi semacam naluri tersendiri, dengan akibat kita kehilangan kesadaran akan nilai kejahatan itu.
Alquran menggambarkan kemungkinan serupa itu, dengan adanya orang yang kejahatannya dihiaskan kepadanya sehingga dia pandang sebagai kebaikan (lihat QS 35: 8).
Keadaan jiwa pribadi semacam itulah yang kiranya dapat disebut sebagai keadaan bangkrut rohani, bangkrut budi pekerti. Apakah bangsa kita melalui orang-orang terkemukanya telah sampai ke stadium kebangkrutan rohani dan budi pekerti? Semoga tidak, dan semoga Tuhan tetap melindungi.
Akan tetapi, bila benar maka tantangan untuk menyelamatkan masa depan bangsa sungguh gawat dan mendesak. Tantangan itu harus dijawab dan harus dipikul beban kewajibannya oleh segenap potensi nasional tanpa terkecuali.
Seperti kata Bung Karno, kita memerlukan "pengikatan bersama semua kekuatan revolusioner bangsa" (sammen bundelling van alle revotionaire krachten van de natie). Kita pun saat ini sangat memerlukan "pengikatan bersama segenap kekuatan reformasi bangsa (sammen bundelling van alle reformatische krochten van de natie).
Karena itu, semua keadaan gawat tersebut merupakan kelanjutan langsung dari rentetan berbagai krisis dan malapetaka nasional, besar ataupun kecil, sepanjang sejarah negara kita, sehingga untuk mewujudkan "pengikatan bersama" itu diperlukan adanya jiwa besar dari setiap kita untuk menutup rentetan panjang krisis bangsa itu dengan secara terbuka hati berekonsiliasi.
Mungkin kita tidak perlu melupakan samasekali semua kesalahan masa lalu agar tidak terulang kembali. Tetapi jelas sekali kita perlu, amat perlu, menutup rasa permusuhan yang diakibatkannya, dengan prinsip "biarlah lewat yang telah lewat, let bygone be bygone, Illa ma gad salafa.
Menarik pelajaran dari pengalaman Afrika Selatan, kita harus berani melantangkan, To forget, No! To forgive, Yes. Dan, cukuplah sudah semua penyimpangan itu sampai di sini, dan setelah itu sama sekali tidak boleh terjadi lagi. Kembali kepada penyimpangan lama akan merupakan kejahatan yang tak terampuni.
Atas dasar platform atau pelataran sammen bundelling dan rekonsiliasi itu, kita bangun kembali bangsa. "Bangunlah jiwanya! Bangunlah badannya! Untuk Indonesia Raya! Maka hendaknya kita kerahkan kekuatan segenap bangsa untuk membangun kembali Indonesia yang berdiri tegak di atas kemampuan sendiri, terhormat, berdaulat, dan berkeadilan sosial untuk seluruh rakyat.

IDEOLOGI DALAM KETERBATASAN KONSEPTUAL

Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.
Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga istilah yang sangat tidak jelas. Banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan lainnya.
Menurut Antonio Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno mengemukakan tiga kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.
Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.
Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.
Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap perilaku kehidupan sosial berkaitan erat. Memahami format sosial politik suatu masyarakat akan sulit dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut. Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik.

SEPINTAS GERAKAN MAHASISWA ISLAM DI INDONESIA

Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan.
Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.
Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi pendorong gerakan mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa. Kedua potensi sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis didalam kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra universitas yang banyak terdapat di hampir semua perguruan tinggi.
Di Indonesia terdapat lima organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering dinamakan ormas mahasiswa, yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Kesemuanya menarik untuk dikaji karena sama-sama membawa label Islam sebagai identitas organisasinya, namun memiliki corak wacana dan strategi perjuangan yang khas. Berikut sekilas perjalanan dari ormas mahasiswa Islam tersebut:

1. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo
HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah.
Dalam perjalanannya, HMI telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa. Hampir di sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan kader HMI yang duduk di kabinet. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam keikutsertannya menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru. Selain itu, sebagai ormas mahasiswa Islam yang independen dan bergerak dijalur intelektual, tidak jarang HMI melahirkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Beberapa kader HMI bahkan sering melontarkan wacana pemikiran Islam yang mengundang kontroversi. Misalnya saja wacana sekulerisasi agama yang diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam Yes, Partai Islam No!.”

2. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah pergerakan angkatan mudanya dari kalangan mahasiswa yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada perkembangannya di awal tahun 1970-an PMII secara struktural menyatakan diri sebagai organisasi independen, terlepas dari ormas apa pun, termasuk dari sang induknya, NU.
Pada masa pergerakan mahasiswa 1998, menjelang peristiwa jatuhnya Soeharto, PMII bersama kaum muda NU lainnya telah bergabung dengan elemen gerakan mahasiswa untuk mendukung digelarnya people’s power dalam menumbangkan rezim Soeharto. Sikap ini telah jauh mendahului sikap resmi kiai senior NU yang lebih konservatif yakni senantiasa menjaga kedekatan dengan pusat kekuasaan untuk membela kepentingan pesantren. Di jalur intelektual PMII banyak mengembangkan dan mengapresiasikan gagasan-gagasan baru, misalnya mengenai hak asasi manusia, gender, demokrasi dan lingkungan hidup.

3. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.
Sebagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan Muhammadiyah yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar. Ide dasar gerakan IMM adalah; Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.
Kedua, Value, ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al Qur’an. Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat.

4. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO)
Kebijakan pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya dasar ormas mendapat tantangan yang cukup beragam dari kalangan umat Islam. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) sebagai organisasi pecahan/faksi dari HMI yang disebutkan sebelumnya, terlahir akibat konflik berkepanjangan dalam menyikapi penerimaan asas tunggal tersebut. PB (Pengurus Besar) HMI melalui jumpa pers pada 10 April 1985 di Yogyakarta mengumumkan tentang penerimaan asas Pancasila oleh HMI. Sikap ini dinilai sebagian cabang seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Ujungpandang, Purwokerto sebagai kesalahan besar PB HMI karena tidak melalui forum kongres. Konflik tersebut berujung pada munculnya perlawanan dari cabang-cabang yang kemudian melahirkan HMI MPO pada 15 Maret 1986 di Jakarta, sebagaimana tercantum dalam buku Berkas Putih yang terbit 10 Agustus 1986.
Setelah beberapa tahun HMI MPO lebih banyak melakukan aktifitas gerakannya secara sembunyi-sembunyi, pada tahun 1990-an ketika pemerintah mulai menjalin hubungan baik dengan Islam, HMI MPO mulai nampak kembali kepermukaan. Di beberapa daerah yang merupakan basis HMI MPO seperti Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang dan Purwokerto kader-kader mereka cenderung radikal dan lebih militan. Pada kenyataannya represi negara justeru membuat HMI MPO menjadi lebih matang dan kuat.
HMI MPO sendiri sedikit mengalami pergeseran, jika pada awalnya gerakan mereka cenderung fundamentalis dan eksklusif. Pada akhirnya mereka mulai terbuka dengan memperluas cakrawala pengetahuan sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Tidak heran jika banyak yang menilai HMI MPO sebagai organisasi Islam yang lebih modernis saat ini.

5. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
KAMMI terbentuk dalam rangkaian acara FS LDK (Forum Sillaturahmi Lembaga Da’wah Kampus) Nasional X di Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 25-29 Maret 1998. Setidaknya ada dua alasan terbentuknya KAMMI, pertama, sebagai ekspresi keprihatian mendalam dan tanggung jawab moral atas krisis dan penderitaan rakyat yang melanda Indonesia serta itikad baik untuk berperan aktif dalam proses perubahan. Kedua, untuk membangun kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral kepada pemerintah.
Selanjutnya bersama elemen gerakan mahasiswa lainnya, KAMMI melakukan tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru melalui gerakan massa. Dalam pandangan KAMMI, krisis yang terjadi saat itu adalah menjadi tanggung jawab pemimpin dan pemerintah Indonesia sebagai pengemban amanah rakyat. Karena itu untuk memulai proses perubahan tersebut mesti diawali dengan adanya pergantian kekuasaan. Rezim Orde Baru dengan segala macam kebobrokannya, harus diganti dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Setelah tidak kuat menahan desakan rakyat, akhirnya Soeharto dengan terpaksa meletakkan jabatannya. Namun bagi KAMMI, proses reformasi di Indonesia belumlah selesai, masih membutuhkan proses yang panjang. Lewat Muktamar Nasional KAMMI yang pertama, 1-4 Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah dari organ gerakan menjadi ormas mahasiswa Islam. Peran utamanya adalah untuk menjadi pelopor, pemercepat dan perekat gerakan pro-reformasi.

Catatan:

Imam Cahyono

PPP REKRUT KADER HMI DAN PMII

Ketua Umum DPP PPP, Suryadharma Ali, mengatakan partainya membentuk organisasi sayap "Gerakan Mahasiswa Islam" yang merupakan penggabungan dari kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
"Kader dua organisasi mahasiswa Islam ini memiliki potensi yang jika digabungkan dalam Gerakan Mahasiswa Islam (GMI) akan menjadi kekuatan baru dalam tubuh PPP," katanya kepada pers seusai memberikan pengarahan pada acara pertemuan dengan pejabat dinas koperasi provinsi dan kabupaten/kota se-Sulteng di Palu, Kamis (22/11).
Selain GMI, lanjutnya, PPP juga membentuk "Taruna Pemuda Indonesia (TPI)" yang akan menghimpun kekuatan pemuda dari berbagai latar belakang.
"Saya berharap GMI maupun TPI dapat menggarap pemilih pemula untuk mendongkrak perolehan suara PPP pada Pemilu 2009," katanya.
Menurut Suryadharma Ali, PPP pada Pemilu 2004 hanya meraih suara 8,15% dan pada Pemilu 2009 ditargetkan sebesar 15%.
Untuk merealisasikan target tersebut, DPP telah menginstruksikan kepada semua pengurus Dewan Pimpinan Cabang kabupaten/kota dan Pengurus Anak Cabang (kecamatan) untuk membentuk ranting di tingkat desa/kelurahan dengan minimal 25 orang anggota/kader.
"Jika PPP memiliki ranting di setiap desa, saya yakin target 15% dapat terpenuhi," kata Suryadharma Ali yang juga Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil ini.
Dihubungi terpisah, mantan Ketua Umum HMI Cabang Palu, Salehuddin Awal, menilai pembentukan GMI sah-sah saja karena setiap partai berupaya mendulang perolehan suara dalam Pemilu.
"Apalagi yang dibidik adalah kader-kader HMI dan PMII yang turut mewarnai percaturan perpolitikan nasional. Tapi, mesti menjadi catatan adalah seorang pengurus HMI harus independen," katanya.

Rabu, 27 Februari 2008

PELECEHAN TERHADAP ORGANISASI

Pada tgl 28 feb. 2008. Saya berbicara lewat tLpn dengan seorang mahasiswa yang Kul. di salah satu universitas yg ada di MKS(ya ga bisa disebutkan donk). Dia memasuki Organisasi yg jLz bukan HMI. Kemarin dia ikut Basic HMI, ya "yumkin" tidak tuntas kerangka berfikir dan basic nya.
Singkat saja "Dia mengatakan bahwa HMI itu Murtad dan didalamnya org2 kafir. Bahkan dia mengatakan bisa saja HMI itu diganti namanya HMK (Himpunan Mahasiswa Kristen). bahkan bahasanya dia mau melaporkan ke pengurus besar Organisasinya (Maaf saya Lupa organisasinya). Wah ini sangat2 ga etis kan. Masa suatu organisasi di lecehkan dan di ejek yang ga pantas. Emang kalau dipikir Organisasi yg dia masuki apa berkuasa semuanya..........??? Apa FIGUR dalam semua organisasi.......????
Mana sikap harga menghargai didalam dirinya, sehingga HMI di lecehkan yg seperti itu....???
Bahasa yang Mahasiswa itu katakan adalah bahasa yang sangat-sangat tidak ETIS bahkan terlalu memvonis terhadap suatu organisasi.
Mari teman2 Hijau-Hitam BERGABUNG, JANGAN TINGGAL DIAM, dan LAWAN orang2 yang berbahasa tidak etis dan seolah2 tidak di ajar di suatu organisasinya.
"LAWAN", secara sehat. HMI tidak pernah mengajarkan kader2nya yg tidak etis. HMI selalu berharap untuk kader2nya menjadi yg terbaik.
"Hormatku KADER HMI-129"

Selasa, 26 Februari 2008

HISTORY'S SEBUAH ORGANISASI

Kepada asasnya yag semula, termasuk dua organisasi massa Islam terbesar, NU dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah sebuah

organisasi yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1947/14 Rabi'ul Awal 1366 H, atas prakarsa Lafran Pane beserta 14 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta.
HMI merupakan organisasi independen yang mempunyai tujuan: Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan
Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT.

Ada 2 spirit yg mendorong lahirnya HMI saat itu, yakni memajukan umat Islam, dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Di tengah kecamuk bangsa yang belum sepenuhnya lepas dari cengkeram penjajahan dan kondisi umat Islam yang terbelakang pada masa transisi sejak proklamasi 1945, perjuangan HMI terpatri. Spirit Islam-kebangsaan yang menjadi roh kelahiran HMI perlu direlevansikan dengan kondisi bangsa yang sedang terjadi saat ini. Terkait dengan hal itu, ada dua hal yang perlu direfleksikan dalam konteks kebangsaan kita. Pertama, pascareformasi, memori dan imajinasi rakyat tentang bangsa Indonesia justru menjadi kabur. Kini, orang memaknai nasionalisme sebagai etnosentrisme/sukuisme. Orang di luar sukunya bukanlah bagian dari bangsa Indonesia. Orang Aceh, Papua, Makassar, atau Bali merasa sebagai bangsa Indonesia ketika terkait dengan sukunya, di luar itu bukan Indonesia. Empasan itu semakin kuat ketika semua daerah ingin diperlakukan seperti Aceh dan Papua.

Dari sisi prestasi dan kesejarahan, HMI adalah organisasi kemahasiswaan yang telah berbuat banyak bagi kemajuan bangsa. Tk salah kalau jendral Soedirman menyebut HMI sebagai Harapan Masyarkat Indonesia. Namun tak dapat disangkal pula kalau HMI meminjam Nurcholis Madjid (Cak Nur), turut menghancurkan dan memperpuruk kehidupan bangsa.

Tidak sedikit dari alumni-alumni HMI yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi (baik yang masih bebas berkeliaran, maupun yang sudah dihukum). Sehingga sangat beralasan kalau Cak Nur (Ketua Umum PB HMI dua periode, 1966-1971) berpendapat, akan lebih baik jika HMI dibubarkan saja?. Cak Nur mungkin benar, tetapi harus diingat bahwa masih banyak (juga) alumni-alumni HMI yang tetap konsisten dan idealis, seperti halnya Cak Nur sendiri. Sejarah HMI tidak bisa dilepaskan dari perseteruan besar yang pernah terjadi di tubuh HMI. Perpecahan HMI tahun 1986, melahirkan dualisme kepengurusan di tubuh HMI: HMI-Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) dan HMI yang bermarkas di jalan Diponegoro (HMI-Dipo). HMI-MPO mempertahankan asas Islam, sementasa HMI-Dipo menerima asas tunggal Pancasila, yang dipaksakan oleh Soeharto lewat UU Keormasan pada 1985. Hingga berakhirnya rezim Soeharto, HMI-MPO adalah satu-satunya organisasi yang tetap menentang pemberlakukan asas tunggal Pancasila. Setelah pencabutan asas tunggal Pancasila di zaman reformasi, seluruh organisasi yang pernah mengubah asasnya atas tekanan Soeharto, kembali Muhammadiyah. HMI-Dipo sendiri mengganti asas Pancasila dan kembali memberlakukan asas Islam pada Kongres Yogyakarta, tahun 2000. Sikap HMI-MPO yang menentang pemberlakuan asas tunggal Pancasila, dapat dinilai sebagai bagian dari tradisi (ajaran) perlawanan kaum Muslimin (meskipun minoritas) atas kekuasaan yang tiranik, otoriter, korup, dan zalim. Maka, kemenangan HMI-MPO mempertahankan asas Islam adalah juga kemenangan umat Islam secara keseluruhan.Hal yang patut disyukuri bersama terhadap dualisme kepengurusan di HMI adalah, aktivitas kedua, saudara kandung, yang tetap dapat berjalan secara berdampingan, saling menghargai, harmonis, dan tanpa konflik! berdarah!Mungkin pernah terjadi clash, namun tidak sampai membahayakan. Bahkan belakangan antar keduanya kerap menjalin koalisi gerakan dan saling mengundang dalam pertemuan-pertemuan.Pilihan HMI-MPO untuk ?berhadap-hadapan? dengan rezim Orba, mau tidak mau menempatkannya pada posisi pinggiran (peripheral) sebagai organisasi underground. Kendati demikian, hal tersebut lalu membentuk karakteristik gerakan HMI-MPO yang cukup khas.Ada tiga kawasan strategis yang menjadi tipologi besar gerakan HMI-MPO:Pertama, gerakan moral-politik yang terkonsentrasi di Jakarta.Kedua, gerakan berbasis moralitas Islam-politik yang menonjolkan nilai-nilai usuliyah, tersentralisasi di Makassar dan sekitarnya.Ketiga, gerakan intelektualisme yang berkembang di kawasan Yogyakarta (Ismatillah A Nuad, Republika, 20/08/03). HMI harus (tetap) mampu memposisikan dirinya sebagai! the creative minority! (minoritas yang kreatif), setelah mengutip Hikmat Budiman (1997) perpaduan rasionalitas instrumental ilmu pengetahuan modern dan kapitalisme telah dipercaya melakukan sebuah mekanisme, penghancuran kreatif (creative destruction). Dalam arus instrumentalisme, kapitalisme, dan birokratisme, kreativitas berperan terutama sebagai alat picu gasasan dan paradigma alternatif. HMI jangan berpikir untuk memformat kader-kadernya yang outputnya satu model (style) saja, sebab hal demikian (tidak lain) merupakan, pemasungan kreativitas, kader. HMI seharusnya hanya berkepentingan sebagai wadah yang selanjutnya mendorong pengembangan potensi-potensi setiap kadernya, (tentu) dengan tetap bersandar pada nilai dan cita-cita Islam.Pada saat yang sama, HMI harus konsisten sebagai gerakan intelektual. Ketika menjejak dunia politik, HMI harus memerankan, politik intelektual, dan bukan, politik praktis. Pecahnya beberapa kelompok-kelompok independen, lebih karena mereka bermain di wilayah praktis, bukan di wilayah intelektual. Jika HMI tidak ingin terbelah-belah lagi, maka ia harus pandai bermain di wilayah intelektual. Sebagai gerakan intelektual, HMI harus berpihak kepada kebenaran (hanief), kepada kaum yang lemah dan terpinggirkan (mustadh?afien), sehingga mereka mendapat posisi tawar (bargaining position) yang kuat dalam menentukan arah kebijakan negara agar berpihak kepada mereka. Edward W. Said mengatakan, intelektual itu melakukan speaking truth to power (berbicara benar kepada kekuasaan). Ketika HMI menganggap diri gerakan intelektual, maka ia harus berani untuk melakukan hal yang sama, berbicara benar kepada kekuasaan.HMI harus sudah melakukan evaluasi yang benar-benar mendalam, serta sedapat mungkin (juga) melakukan penyegaran organisasi. Azyumardi Azra (1999) berpendapat, Jika HMI ingin tetap memposisikan diri sebagai salah satu pembawa bendera terdepan di kalangan kaum muda dan mahasiswa Muslim, agaknya sudah waktunya bagi HMI untuk melakukan reassessment menyeluruh atas dirinya secara jujur. Tanpa keberanian, menguliti diri, ... perlahan tapi pasti, HMI akan semakin kehilangan relevansinya, dan akhirnya menjadi organisasi marjinal belaka. Bangunan pemerintahan mahasiswa (student government) di kampus-kampus, kian kehilangan taring dan nilai tawar (bargaining position) dalam menghadapi realitas dunia kampus dan situasi sosio-politik. Pasca-Orba, proses demokratisasi terus dilakukan meskipun mengalami pembusukan dan pengerdilan. Rezim yang berkuasa tidak lagi se-otoriter Soeharto. Kran kebebasan berpendapat dan berekspresi dibuka selebar mungkin. Namun, gerakan mahasiswa sendiri terlihat gamang menghadapi situasi yang ada. Mungkin ada kaitannya dengan sistem pengkaderan di kalangan gerakan mahasiswa yang sejak awal memang diformat sedemikian rupa untuk memusuhi negara, lalu menjadi bingung ketika rezim meskipun tetap jahat dan kejam? tidak lagi sejahat dan sekejam Soeharto. Rupanya gerakan mahasiswa dituntut untuk dapat menemukan model-model gerakan yang tepat.Di kampus sendiri, gerakan mahasiswa harus menghadapi (paling tidak) dua hal, yaitu: Pertama, kultur akademik yang kian tidak memberi ruang kepada mahasiswa untuk menggembleng diri di organisasi kemahasiswaan. Kedua, serangan budaya pop (pop culture) yang kian menghempaskan (menegasikan) sisi-sisi heroisme, perlawanan, (dan mungkin juga) idealisme mahasiswa. Kedua hal ini tentu saja (juga) dihadapi oleh HMI. Jika tidak ingin kehilangan pengaruh di kampus-kampus, maka HMI sebaiknya melakukan context of interpretation terhadap model-model gerakannya. Sementara itu, HMI juga perlu menyadari bahwa sudah terjadi semacam pembusukan kultural di masyarakat (dan mahasiswa), terkait kasus-kasus hukum yang melibatkan alumni-alumni HMI.HMI tak punya pilihan lain, ia harus sedemikian rupa menunjukkan kalau dirinya bersih, terhormat, dan bermoral tinggi. Bahwa HMI tidak pernah mengajarkan kader-kadernya untuk jadi penjahat, maling, koruptor, dan sejenisnya. Hal ini penting agar HMI tidak mengalami?meminjam Francis Fukuyama the end of history.

ORGANISASI KOE

HMI (HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM)
Di abad sekarang HMI masih menunjukkan eksistensi sebagai organisasi yang cukup disegani. Ini merupakan sebuah kesyukuran terhadap kita. Namun masih banyak yg menjual oragnisasi yg sifatnya tidak penting dan tidak berguna. Kita sebagai kader, jangan seperti mengibaratkan seperti kader Lepas. Sehingga himpunan ini tidak sekedar sebuah organisasi paguyuban dan harus mengambil peran-peran strategis untuk bangsa dan ummat.
Menurut Anda Siapa Yang Layak Untuk Menjadi Ketua Komisariat?
Kalau menurut saya itu sih terserah kepada teman2 bagaimana menilai suatu calon yang ada dan dapat dipercaya.Peran-Peran Apa yang Harus diJaLankan? InternaL! EksternaL!Internal, yaa berorientasi pada pengembangan kapasitas kader dan penguatan HMI di kampus-kampus. Gagasan-gagasan HMI haruslah dikabarkan keluar. Jangan hanya sibuk menulis opini atau rebut-ribut di media sendiri. Bagi saya, setiap kader HMI-Dipo harus diformat menjadi petarung2 yang tak kenal menyerah. Sementara kalau diluar HMI-Dipo harus beragenda2 kerakyatan menyangkut nasib kaum bawah. Kemudian mendorong penciptaan iklim baru politik yang lebih berakar pada pendidikan politik yang mencerahkan di kalangan massa rakyat. Ketika rakyat sudah tercerahkan secara politik, maka bangunan cipil society tentu akan dengan sendirinya.
Strategi Apa yang Dilakukan agar HMI tetap sebagai organisasi yang besar?
Penguatan perkaderan, tentu saja, dan dan mendorong kader-kadernya untuk memiliki kapasitas dan otoritatif secara individual, sehingga dengan sendirinya akan menguatkan HMI sebagai sebuah jammah.
Apa Harapan Anda Tentang HMI dikampus2?
Seharusnya kita kembali masuk dan membuat pengaruh di dalam lembaga-lembaga intra kampus. Tidak hanya di BEM, tetapi terutama juga di lembaga2 Lainnya.
Dan sekarang giliran anda
Apa Penilaian Anda Tentang HMI?